Media Humas Polri//Bolmong
Proyek Pembangunan Bendungan Lolak di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, yang dilakukan oleh PT.PP (Persero), tampaknya telah mencapai tahap akhir.
Namun, proyek yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) dari 45 Proyek Bendungan yang dicanangkan oleh Pemerintah ini masih menyisakan persoalan yang belum terselesaikan. Warga setempat merasa bahwa hak-hak mereka terabaikan akibat proyek megah ini.
Salah satu masalah yang paling menonjol adalah kompensasi yang harus diberikan kepada petani yang lahan kebunnya terkena dampak pembangunan bendungan.
Warga dengan inisial S (48) mengatakan pada bulan Ramadhan 2023, Tim Terpadu Bendungan Lolak turun ke lapangan untuk melakukan pendataan terhadap pihak yang terdampak oleh pembangunan ini. Kesepakatan yang dicapai adalah setiap petani akan menerima ganti rugi berupa jumlah tanaman yang dimiliki di kebun mereka, sesuai dengan luas lahannya.
“Kesepakatan ini telah ditandatangani secara resmi di kantor Kecamatan Lolak,”ujarnya.
Namun, kata S sebulan kemudian, Tim Terpadu kembali melakukan pengecekan dan menemukan bahwa ada enam lokasi yang terlewatkan dalam pendataan sebelumnya.
Ironisnya informasi terakhir yang diterima oleh warga menunjukkan adanya perubahan jumlah tanaman yang akan diberikan sebagai ganti rugi.
“Awalnya, kesepakatan tersebut mencakup 9.500 tanaman, tetapi kemudian berubah menjadi 5.000 tanaman berdasarkan luas lahan yang dimiliki,”Kata S.
Warga yang merasa dirugikan oleh perubahan ini merasa bahwa hal tersebut tidaklah adil. Mereka mengklaim bahwa kesepakatan awal yang telah ditandatangani secara resmi di kantor Kecamatan Lolak harus dihormati.
“Kami meminta agar pihak terkait bertanggung jawab untuk menyelesaikan ganti rugi ini sebelum bendungan diresmikan dan dioperasikan oleh Presiden Jokowi,”Pinta S.
Saat ini, Balai Wilayah Sungai (BWS) Viktor, masih enggan memberikan tanggapan terkait masalah ganti rugi yang diterima oleh warga saat dihubungi lewat pesan Whatsapp pribadi miliknya.
Surat Keterangan Tanah (SKT) Dalam Hutan Produksi Terbatas (HPT), Selain masalah ganti untung tanaman, ternyata isu mengenai SKT yang berada dalam kawasan hutan menjadi topik yang tak kalah penting ditengah masyarakat pemilik kebun.
Warga yang meminta tidak menulis namanya, mengaku tak paham dan heran tanah kebun milik mereka yang memiliki SKT di klaim masuk kawasan Hutan Negara, yang berakibat tidak adanya pembayaran yang akan dilakukan oleh pihak pengelola atau hanya ganti untung tanaman.
“Bukankah dasar terbitnya SKT karena tanah tersebut berstatus APL? namun faktanya berkata lain,”tanya warga.
Terkait dengan itu, Sangadi Pindol Muslim Paputungan, memberikan sejumlah keterangan.
“Berdasarkan SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terbit bulan Desember tentang pelepasan kawasan, yang diganti untung itu adalah lahan pertanian dan tanaman,” ungkapnya kepada sejumlah awak media.
Paputungan mengungkapkan, status kepemilikan tanah warga tersebut adalah HPT.
“SK tersebut membuat kami bingung, hari ini pertanyaannya kenapa isunya yang diganti hanya tanaman yang tanam tumbuh,” pungkasnya.
Lanjutnya, Pemdes Pindol sampai saat ini belum memiliki informasi akurat tentang kehadiran Tim Terpadu.
“Sampai saat ini kami belum memiliki data akurat. Kehadiran Tim Terpadu beberapa waktu lalu itu tidak menjelaskan secara detail kepada pemilik lahan,” kata Sangadi Pindol.
“Mengapa Tim Terpadu tidak menyampaikan ke warga bahwa data yang kemarin itu adalah baru data identifikasi. Sampai saat ini kami belum memiliki arsipnya di desa,” tambah dia lagi.
Pihaknya saat ini masih menunggu hasil pertemuan beberapa waktu terkait ganti untung hanya untuk tanam tumbuh.
“Kami belum punya dasar dan data terkait ganti untung bagi masyarakat, lahan warga yang tidak ditanggapi dan ada yang ditanggapi tapi tidak sesuai dengan penetapan awal padahal hanya sisa,” katanya.
Sangadi Pindol menambahkan lagi, pembayaran awal telah terjadi sejak 2013 sampai 2015.
“Tidak ada tanda bukti di desa terkait pembayaran ganti untung tersebut,”tukasnya. (Bas)