Festival Al Quran Tua dari Kulit Kayu di Alor Besar Ternyata Ini Sejarahnya

Alor // Media Humas Polri.Com

Festival Kitab suci Al Quran Tua yang terbuat dari lembaran kayu yang berada di Desa Alor Besar, Kecamatan Alor Barat Laut sudah ke empat kalinya di selenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Alor yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan festival expo Alor tahun 2023 dibawah kepemimpinan Bupati Alor, Drs Amon Jobo, Rabu 14/6/2023).

Bacaan Lainnya

Dalam acara tersebut, nampak ratusan warga yang menghadiri untuk menyaksikan kitab suci AL Qur’an Tua yang di iringi dengan lantunan sholawat dengan menggunakan puluhan perahu motor dalam acara ini dinamakan dengan bahasa Alor yakni
” Gala Soro”

Pantauan Wartawan Media Humas Polri, Masyarakat sangat antusias menyaksikan festival tersebut dari jauh mata memandang Prosesi Gala Soro berlangsung , terlihat Bangunan Masjid Jami Baarussholah yang ada di sekitar kawasan itu dipadati jamaah yang penasaran menyaksikan Al Quran Tua berselimut kain putih yang di tadah oleh Nurdin Gogo dengan kedua tangannya sepanjang perjalanan dari bibir pantai menuju ke Uma Pusung Rebong hingga tempat terakhir penyimpanan Al-Qur’an Tua, tak henti hentinya ratusan jamaah muslimin yang hadir melantunkan shalawat kepada Nabi Muhamad Saw, kini rasanya membuat suasana haru dan tidak sedikit masyarakat menitikkan air mata.

Tampak hadir dalam acara Festival Al Qur’an Tua yakni, Bupati Alor, Drs Amon Jobo, Asisten III Setda Provinsi Nusa Tenggara Timur bersama stafnya, DANLANUD Kupang, Dandim 1622/Alor, DANPOS TNI AL Kabupaten Alor, Kabag Ops Polres Alor, AKP Abdul Rahman Aba Mean SH, Pimpinan OPD Kabupaten Alor, dan Para Camat, serta tokoh Masyarakat,, tokoh Agama dan tokoh Adat.

Berikut ini Sejarah masuknya Al-Qur’an Tua kulit kayu di Desa Alor Besar, yang dibacakan oleh kepala Desa Alor Besar, Sirahudin Ali S.Pd.I

Bermulanya berasal dari Ternate Provinsi Maluku Utara,pada masa kesultanan GAPI BAGUNA pada tahun 1372- 1377 M munculnya sebuah perahu dinamakan” Tuma’ Ninah” yang saat itu di pergunakan sebagai pengangkut rempah rempah komoditi perdagangan kerajaan Ternate dengan dunia Luar.
Perahu tersebut di pakai oleh lima Gogo bersaudara untuk berlayar menuju negeri bagian barat dalam rangka syiar agama Islam. Dari beberapa sumber yang referensinya sudah beredar di media terdapat kesamaan persepsi tentang waktu keberangkatan Lima Gogo bersaudara yakni ; Setelah Kedatangan Portugis di Ternate pada tahun 1511-1512 Masehi dan terdapat kesamaan beberapa sumber juga mengerucut bahwa, pendaratan Lima Gogo bersaudara di pantai Fetalei,Bota, Alor Barat Laut yakni sekitar tahun 1519 Masehi.

Dalam rangka penyebaran agama Islam, Maka Sultan Bayanullah sebagai sultan Ternate di tahun 1500- 1522 Masehi mengirimkan ekspedisi ke negeri negeri bagian barat Ternate. Perahu Tuma’ Ninah yang memuat rombongan Lima Gogo bersaudara berangkat meninggalkan Ternate menuju ke arah selatan dan Barat melalui laut Banda dan berlayar terus melewati perairan Utara Pulau Alor.
Dalam pelayaran mereka kehabisan bekal,maka di sepakati untuk singgah di sebuah tanjung di wilayah Barat Laut pulau Alor diantaranya; Fetalei / tanjung Bota sekarang dikenal desa Alila untuk mencari sumber air minum. Saat itulah bapak Iang Gogo menancapkan tongkatnya ke pasir dan seketika keluarlah mata air, yang hingga saat ini mata air tersebut masih ada,dan mata air tersebut dinamakan bahasa Alor, Fei Fanja yang artinya Air Banda.
Setelah memenuhi pembekalan, Lima Gogo bersaudara berniat melanjutkan perjalanan ke bagian barat, nah pada saat itu,Raja Baololong dari istana bunga Bali sedang berada di Nanat adalah sebuah tempat istirahat Raja yang sekarang dikenal dengan nama Desa Alaang., Ia melihat sebuah perahu layar sementara menuju arah barat. sang raja kemudian melambaikan tangan untuk memanggil perahu tersebut, dan dengan kesaktiannya seketika itu perahu tersebut berlayar mundur sampai tiba di pantai Nanat dimana tempat raja Baololong berada.
Setelah sampai, terjadilah dialog antara raja Baololong dengan Lima Gogo bersaudara. Dalam percakapan inilah timbulnya rasa kekerabatan dan kekeluargaan yang ditandai dengan penukaran cinderamata yaitu; Lima Gogo bersaudara memberikan sebuah Nekara besar yang saat ini tersimpan di Meseum Daerah Kabupaten Alor, sementara Raja Baololong memberikan sebuah pisau keris. Mereka juga berjanji untuk bertemu lagi di Uma Raja Kampung Bang Mate yang sekarang Uma Pusung Rebong Alor Besar.

Selanjutnya, Perjalanan Lima Gogo bersaudara menuju ke arah barat, namun perahu Tuma’Ninah terbawa arus laut yang mengombang ambingkan mereka hingga terdampar di pantai Tuabang( pulau pantar. Setelah beristirahat sejenak di pantai tersebut Lima Gogo bersaudara kembali berlayar menuju Kampung Bang Mate sesuai janji mereka terhadap Raja Baololong.
Sesampainya mereka di Watang Raja ( pantai Raja) Kampung Bang Mate mereka bertemu Raja Baololong di Uma Raja (Uma Pusung Rebong). Melihat sikap, tindak tanduk,dan kesopanan para tamunya, sang Raja meminta Ke Lima Gogo bersaudara untuk tinggal menetap di Uma Pusung Rebong di kampung Bang Mate. Keinginan sang Raja ini sejalan dengan misi syiar Islam kelima Gogo bersaudara sehingga mereka menyetujui permintaan tersebut.

Seiring berjalannya waktu, Lima Gogo bersaudara merasa tidak nyaman tinggal bersama Raja Baololong, karena binatang piaraan raja berupa anjing dan babi berkeliaran disekitar rumah, olehnya itu kelima Gogo bersaudara meminta izin kepada raja agar diberikan sebidang tanah untuk di bangun rumah tempat tinggal sendiri walaupun masih di wilayah kampung Bang Mate. Akhirnya permintaan itu direstui oleh Raja Baololong,maka diberikanlah sebidang tanah, sekarang tempat rumah mereka yang diberi nama UMA FANJA ( Rumah Banda) dan sampai saat ini menjadi tempat penyimpanan Al-Qur’an Tua kulit Kayu tersebut.

Di Uma Fanja inilah misi penyebaran Islam mulai dijalankan oleh lima Gogo bersaudara dengan berbekal Al-Qur’an Tua kulit kayu, mereka mulai mengajar mengaji, sholat, Dzikri, dan perilaku hidup islami. Ajaran Islam yang sangat menarik bagi masyarakat Kampung Bang Mate ini menjadikan Misi syiar Islam berjalan lancar., karena jumlah pengikut semakin banyak,maka Lima Gogo bersaudara meminta sebidang tanah kepada Raja Baololong untuk dibangun tempat belajar mengaji dan menjadi pusat kegiatan Islami di Kampung Bang Mate. Dan melihat perkembangan perilaku rakyatnya semakin membaik dengan ajaran Islam, Raja pun menyetujui permintaan itu sehingga diberikanlah sebidang tanah untuk di bangun sebuah Ropo( rumah panggung kecil khas Ternate). Ropo ini adalah cikal bakal Masjid Baabbussholah desa Alor Besar, sejak saat itu semua bentuk kegiatan keagamaan tidak lagi dilakukan di Uma Fanja,dan di pindahkan ke Ropo. Dari Ropo kecil inilah cahaya Islam lewat Al-Qur’an Tua kulit kayu terpancar dan tersebar ke wilayah wilayah di sekitarnya.

Kemudian dengan berjalan waktu, Lima Gogo bersaudara merasa bahwa rakyat Kampung Bang Mate sudah mengetahui dan memahami ajaran Islam, maka mereka berencana untuk melanjutkan perjalanan syiar agama Islam ditempat lain, namun rencana kepergian mereka tidak di setujui oleh Raja Baololong, dan untuk mencegah kepergian mereka, Raja berniat untuk menikahkan salah seorang dari Lima Gogo bersaudara dengan putri Bui Haki Putri bangsawan Raja Baololong. Sesuai kesepakatan Lima Gogo bersaudara,maka Iang Gogo menikahi putri Bui Haki dan tinggal menetap di Alor Besar.

Setelah pernikahan Iang Gogo dengan putri Bui Haki, keempat saudara Iang Gogo melanjutkan perjalanan syiar Islam ke tempat lainnya. Saat itu dari ke empat orang bersaudara hanya tiga orang yang mendahului keluar dari Kampung Bang Mate yaitu ; 1. Ilyas Gogo pergi ke Tuabang Pandai 2. Jou Gogo pergi ke Bara Nusa 3. Boi Gogo pergi ke Solor – Flores Timur.
Sedangkan saudara bungsu mereka,Kimales Gogo masih tetap bertahan dan tinggal bersama Iang Gogo di Kampung Bang Mate untuk penyebaran Islam. Namun tidak berapa lama kemudian, Kimales Gogo juga melanjutkan perjalanan syiar Islam ke arah timur yang akhirnya mendarat di Lera Baung di wilayah Alor Barat Daya.

Dari hasil Perkawinan Iang Gogo dengan putri Bui Haki maka hingga saat ini turun temurun terlahirlah 14 generasi pewaris Al-Qur’an Tua kulit kayu yakni ;
1. Tahionong Gogo., 2. Boi Raja Tahu.,3. Ramanehe Boi.,4. Boi Kae Rama.,5. Pati Raja Boi.,6. Salama Kae Pati.,7. Aboi Juga Salama.,8. Taluti Aboi., 9. Nae Rake Taluti., 10. Gati Angin Nae.,11. Ola Gati.,12. Panggo Ola.,13. Salim Panggo Gogo.,14. Nurdin Gogo. (Ahmad M)

Pos terkait