MEDIA HUMAS POLRI.COM || KABUPATEN CIREBON
Oknum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diduga
telah mengeklaim sepihak tanah adat yang berada di Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (18/08/2023).
Hal tersebut, membuat warga Desa Kanci bersama LSM dan Ormas melakukan aksi Unjuk rasa mendatangi PLTU II Kanci dengan membawa spanduk bertuliskan “Lapor Pak Presiden Disini Ada Mafia Tanah.”
Saat di Depan PLTU II Kanci, Kuasa Hukum Warga Andi Agus Salim, S.H., M.H., mengatakan, berdasarkan pada Surat Pelepasan Hak Kolektif yang diperoleh pada kurun waktu 23 Mei 1985 s.d 24 Mei 1986 yang bukan merupakan bukti transaksi jual beli atau pelepasan hak tanah yang sah sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran tanggal 1 Juli 1978 No. SE.2.4/DJA/VII.5/7/78.
Dimana sangat jelas mewajibkan untuk setiap pembelian tanah kepentingan pemerintah dilengkapi dengan akta Notaris. Juga, SPH Kolektif ‘Tidak Dikenal’ sebagai bukti pelepasan / peralihan hak tanah pada Kitab Undang – Undang Hukum Dagang, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, dan Hukum Agraria.
Pemilik Tanah yang enggan disebut namanya mengatakan bahwa, pembebasan tanah dilakukan dengan paksaan tanpa ada musyawarah dan kata sepakat dengan masyarakat yang mengelola tanah adat tersebut.
“Hal ini jelas melanggar KUH Perdata 1321 & 1323 serta telah terjadi pelanggaran Permendagri No. 15 Tahun 1975 tentang ketentuan – ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah tahun 1985/ 1986,” ujarnya, saat turun langsung mendampingi warga Desa Kanci.
Lanjutnya, Departemen Kehutanan / KLHK telah dengan sengaja menelantarkan tanah dengan dibuktikan secara faktual Departemen Kehutanan / KLHK tidak pernah melakukan optimalisasi pengelolaan tanah, tidak pernah menanam satu batang pohon pun dan tidak pernah menguasai fisik tanah pada kurun waktu 23 Mei 1985 sampai 30 Juli 2016.
“Sejak awal pembangunan proyek PLTU Unit 2, masyarakat pemilik tanah adat meminta agar proyek tidak dilanjutkan dan menyelesaikan proses pembebasan lahan terlebih dahulu karena melanggar Perda No. 17 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031,” jelasnya.
“Kemudian, terjadi kesepakatan antara pemilik tanah adat dan PT. Cirebon Energi Prasarana, namun Proyek PLTU Unit 2 tetap berjalan dengan tangan besi oknum pejabat pemerintah Kabupaten Cirebon dan pihak KLHK yang tetap memaksakan diri mengesampingkan kepemilikan tanah masyarakat adat,” imbuhnya.
Diketahui, pada bulan Juli 2016, telah lahir ‘Surat Kesepakatan Bersama’ antara para Pemilik Tanah adat dengan Pihak PT. Cirebon Energi Prasarana diwakili oleh Heru Dewanto sebagai Presiden Direktur, Bahwa Pihak Pertama (PT. Cirebon Energi Prasarana) sepakat akan membeli tanah warga berikut bangunan diatasnya dari pihak kedua yang termasuk didalam area proyek PLTU milik pihak pertama dan diluar kepemilikan KLHK atau pihak ketiga manapun dengan harga yang disepakati bersama sesuai harga pasar.
Pembebasan tanah harus diselesaikan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkannya keputusan ini, dan tiap 3 (tiga) bulan dilaporkan perkembangannya kepada Gubenur Kepala Daerah tingkat I Jawa Barat melalui Kepala Direktorat Agraria. (Didi.S)