*Kapolri MoU dengan Dewan Pers, Alumni Lemhannas Ingatkan Dewan Pers Bukan Perwakilan Wartawan*
Mediahumaspolri || Jakarta
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo diberitakan melakukan pertemuan khusus baru-baru ini dengan Ketua Dewan Pers yang baru, Azyumardi Azra, di Mabes Polri. Dalam pertemuan itu disepakati untuk menerbitkan Kesepakatan Bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) dalam hal kerjasama saling tukar informasi, edukasi, dan pencegahan polarisasi bangsa menjelang Pemilu 2024.
Menanggapi hal tersebut, Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA mengingatkan semua pihak, terutama Kapolri, bahwa Dewan Pers bukanlah lembaga perwakilan wartawan sehingga kesepakatan dengan lembaga tersebut bukan berarti kesepakatan dengan para wartawan atau jurnalis Indonesia. Menurutnya, otoritas pelaksanaan kerja-kerja jurnalistik ada di tangan para wartawan dan organisasi pers.
Pasal 1 ayat (5) UU Pers menjelaskan bahwa organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Setiap wartawan didorong untuk bergabung bersama rekan seprofesinya ke dalam salah satu organisasi wartawan dalam rangka memperjuangkan kepentingannya sebagai seorang wartawan.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa setiap wartawan bebas memilih untuk bergabung dengan organisasi wartawan yang ada. Jadi, secara norma hukum sebagaimana disebutkan di Pasal 7 ayat (1) itu, yang dapat mewakili wartawan adalah organisasi wartawan, bukan Dewan Pers,” jelas Wilson Lalengke yang telah melatih ribuan anggota TNI, Polri, PNS, mahasiswa, LSM, wartawan dan masyarakat umum di bidang jurnalistik itu kepada media ini melalui Sekretariat PPWI Nasional, Jumat, 24 Juni 2022.
“Dari 21 pasal yang ada dalam UU Pers, hanya satu pasal, yakni Pasal 15 saja yang terkait dengan dewan pers. Pasal-pasal lainnya semuanya mengatur tentang wartawan dan kerja-kerja kewartawanan. Peran dewan pers pun bisa digantikan oleh institusi sejenis, seperti media watch, LBH Pers, dan individu-individu yang ekspert di bidang pers,” urai tokoh pers nasional yang saat ini sedang dikriminalisasi oleh oknum Polres Lampung Timur.
Terkait dengan keberadaan dan kedudukan Dewan Pers dalam konstelasi kewartawanan, demikian Wilson Lalengke, dapat dilihat pada Pasal 15 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tersebut. Dewan Pers itu, kata dia, boleh ada boleh tidak. Juga, tidak secara tegas disebutkan bahwa hanya boleh ada satu lembaga Dewan Pers. Defacto, saat ini ada dua lembaga yang sama, yakni Dewan Pers (DP) dan Dewan Pers Indonesia (DPI), serta beberapa lembaga Media Watch.
“Tugas pokok Dewan Pers disebutkan secara jelas dan tegas pada Pasal 15 ayat (1) UU Pers, yakni mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers. Jadi tugasnya DP dan DPI serta lembaga serupa, termasuk Media Watch dan LBH Pers adalah mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers, lain tidak!” ujar Wilson Lalengke menegaskan.
Dalam rangka menjalankan dua tugas pokok tersebut, lanjut dia, DP dan DPI melaksanakan beberapa fungsinya, yakni:
a. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
c. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
d. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
e. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; dan
f. mendata perusahaan pers;
“Sangat jelas dan tegas di UU Pers itu, tidak disebutkan bahwa DP dan DPI dapat, secara formal, mewakili dan berperan mengatasnamakan para wartawan di forum dan kesempatan manapun. DP dan DPI itu tidak seperti DPR dan DPD RI yang punya konstituen, yakni rakyat (secara individual) yang memilih para anggotanya. DP dan DPI hanyalah lembaga fasilitator, bukan legislator yang dapat membuat aturan-aturan yang mengikat keluar atau kalangan wartawan,” beber lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, England, ini.
Sesungguhnya, dengan adanya berbagai manuver DP menggandeng lembaga-lembaga di lingkaran Pemerintahan, hal tersebut menunjukkan bahwa DP bukan lagi lembaga independen sebagaimana maksud Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 40 tahun 1999. DP tak pelak sudah terkooptasi oleh instansi pemerintah yang merupakan obyek atau sasaran kontrol sosial oleh kalangan Pers.
“Lah, kalau DP dan/atau DPI sudah mengikatkan diri dalam bentuk MoU dengan lembaga pemerintah, itu berarti bukan lagi lembaga independen,” sebut Wilson Lalengke sambil mengatakan bahwa DPN PPWI pernah berkantor di gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih No. 32-34 Lt. 5, Menteng, Jakarta Pusat itu.
Oleh karena itu, Wilson Lalengke mengharapkan agar Kapolri mengkaji dengan cermat sebelum mengadakan kesepakatan bersama dengan Dewan Pers. Rujukan utama dalam menelaah dunia Pers Indonesia dan kewartawanan dengan segala pernak-perniknya adalah UU Nomor 40 tahun 1999.
“Perlu kita ingatkan Kapolri dan seluruh jajaran di pemerintahan, karena ada potensi pelanggaran pidana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers itu. Jika Kapolri tidak berhati-hati, sangat mungkin bisa dilaporkan ke Polisi oleh insan Pers yang dirugikan akibat hambatan dalam menjalankan tugasnya sebagai dampak dari MoU Kapolri dengan Dewan Pers,” katanya mengingatkan.
Terkait dengan sinyalemen yang berkembang bahwa wartawan dituding sebagai komponen yang menciptakan polarisasi di masyarakat, Presiden Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (PERSISMA) ini amat menyayangkan tudingan miring itu, apalagi jika dinyatakan langsung oleh pihak Mabes Polri. Belum ada sejarahnya, imbuh Wilson Lalengke, di belahan dunia manapun, di zaman manapun, wartawan menjadi agen pemecah-belah bangsa.
“Justru sebaliknya, dunia pers yang digeluti para wartawan telah sukses membawa bangsa ini menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat atas negerinya sendiri. Wartawan itu adalah pemersatu bangsa-bangsa dimana-mana,” tegas Wilson Lalengke.
Dari fakta yang ada, Dewan Pers dan Polri telah terjebak menjadi agen pemecah-belah bangsa, minimal pemecah-belah kalangan wartawan. “Lihatlah kasus Kapolres Sampang baru-baru ini, dia dengan pongahnya membeda-bedakan wartawan, dengan alasan UKW dan verifikasi media Dewan Pers. Ini merupakan serangan brutal terhadap kalangan wartawan dan pewarta warga yang juga turut serta mengumpulkan dana pajak yang digunakan untuk membeli kebutuhan hidup si Kapolres Sampang bersama keluarganya itu, termasuk celana dalam mereka,” tutur Wilson Lalengke sambil menambahkan bahwa akibat surat edaran Dewan Pers Nomor: 371/DP/K/VII/2018, Pemda di berbagai daerah telah menjadi aktor utama pemecah-belah wartawan di daerah masing-masing.*/John