Ketum LSM BAKORNAS : Urgensi Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Media Humas Polri.com Empat Lawang- Kejahatan Korupsi telah mengakibatkan kehancuran bagi perekonomian bangsa. Peran masyarakat harus turut serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan alasan bahwa masyarakat sebagai korban dan masyarakat sebagai komponen negara.
Kejahatan korupsi merupakan fenomena sosial yang masih sulit dalam pemberantasannya karena sudah menjadi budaya. Efek kejahatan korupsi telah mengakibatkan kehancuran bagi ekonomi bangsa. Dengan adanya korupsi pembangunan dalam segala bidang tidak berjalan secara baik.
Hal itu disampaikan oleh Hermanto, S.Pd.K Ketua Umum LSM Badan Anti Korupsi Nasional (BAKORNAS). Di Kantor DPP LSM BAKORNAS, Cilangkap Kota Depok, (8/01/22).
Ia mengatakan, Kejahatan korupsi telah menjadi gurita yang menyengsarakan rakyat Indonesia Oleh karena itu, Tindak Pidana Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik serta dapat merusak nilai- nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi budaya.
Upaya untuk memberikan penyadaran terhadap masalah korupsi harus melibatkan peran serta masyarakat. Sesuai dengan amanah Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di mana pada pasal 41 menyebutkan bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ketum LSM BAKORNAS itu menyebutkan, Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kekuatan pengimbang, pemberdaya masyarakat, dan sebagai lembaga perantara memiliki peranan di dalam bidang pencegahan, pengendalian, dan penanganan kasus korupsi.
Ia menegaskan, LSM antikorupsi seharusnya mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam memberantas korupsi, dan membangun model pemberdayaan LSM antikorupsi yang efektif sehingga selanjutnya berkontribusi signifikan dalam memerangi korupsi. perlunya model pendidikan anti korupsi menyangkut perspektif mentalitas budaya dan pembentukan perilaku anti-korupsi di masyarakat.
Oleh sebab itu perlu ditumbuhkan kesadaran bagi setiap warga negara bahwa melaporkan sesuatu korupsi, merupakan perbuatan berpahala karena dapat membantu memberantas korupsi. Sebagaimana dijelaskan bahwa masyarakat diberi hak untuk membantu pemerintah untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi dan hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara
Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Hermanto, Pada saat ini masyarakat cenderung bersikap diam terhadap perbuatan korupsi. Selain akan merepotkannya, juga dengan pertimbangan bahwa laporan tersebut tidak akan ditanggapi dengan jujur. Selama masyarakat beranggapan demikian maka akan sangat sulit mengharapkan perilaku masyarakat yang membantu untuk
mencegah/memberantas korupsi.
Lebih lanjutkan Hermanto menjelaskan, Permasalahan memerangi tindak pidana korupsi memang selalu saja harus dikembangkan, karena ternyata angka korupsi selalu saja meningkat demikian juga dengan modus yang dilakukannya Dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sering kali masyarakat hanya
membebankan tugas tersebut kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan/atau kepada para penegak hukum lainnya. Sedangkan didalam konstitusi negara ini menyebutkan bahwa masyarakat harus ikut andil dalam menangani Tindak Pidana Korupsi tersebut dalam arti lain masyarakat berperan serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Di Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan yang demokrasi. Sesuai dengan prinsip-prinsip sistem pemerintahan demokrasi tersebut maka peran serta masyarakat sangat penting dalam pemberantasan korupsi di negara ini.
Hermanto kemudian mengungkapkan, Peran serta masyarakat yang dimaksud adalah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilaksanakan dengan mentaati hukum, moral dan sosial yang berlaku dalam lingkungan masyarakat, berbangsa dan bernegara. serta dapat diwujudkan dalam bentuk antara lain mencari, memperoleh, memberikan data, atau informasi tentang Tindak Pidana Korupsi dan hak menyampaikan saran, pendapat dan bertanggung jawab terhadap pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ia menerangkan, Dasar hukum bagi masyarakat untuk dapat berperan serta dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya sudah diatur di dalam pasal 108 ayat 1 dan ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP), yaitu: (1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik dan atau penyidik, baik lisan maupun tertulis; (2) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik. Peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tambah semakin jelas lagi berdasarkan ketentuan Undang- undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 41 ayat 2 disebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat diwujudkan dalam bentuk: (a) Hak untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi; (b) Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara Tindak Pidana Korupsi; (c) Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara Tindak Pidana Korupsi; (d) Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; (e) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b, dan c; dan diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hermanto menyimpulkan, Gerakan anti korupsi pada dasarnya adalah upaya bersama seluruh konsumen bangsa dan mencegah peluang terjadinya perilaku koruptif. Dengan kata lain gerakan anti korupsi adalah suatu gerakan yang memperbaiki individu (manusia) dan sistem mencegah terjadinya perilaku koruptif.
(Red)