Meriam Karbit Tak Lekang oleh Waktu, Tak Hilang Ditelan Zaman
Chandra Bangga Bermain Meriam Karbit Lestarikan Tradisi dan Budaya
PONTIANAK – Media Humas Polri
Beberapa orang pria terlihat sibuk di tepian Sungai Kapuas Kelurahan Tambelan Sampit Kecamatan Pontianak Timur. Ada yang mengambil air, ada pula yang berada di ujung moncong kayu berdiameter cukup besar sambil menutup lubang yang mengarah ke sungai dengan lembaran kertas koran. Kemudian yang lainnya memasukkan karbit yang sudah dipecah seukuran kerikil kecil. Setelah itu, mereka menunggu sejenak. Selang beberapa menit, seorang pria membawa api obor menuju satu di antara kayu yang berjejer di tepian sungai yang berada tak jauh di bawah Jembatan Kapuas I. Pria itu langsung menyulut lubang kecil yang ada di tubuh kayu bulat tersebut dan diikuti bunyi menggelegar hingga menarik perhatian pengendara yang melewati jembatan. Begitulah cara warga memainkan benda yang dikenal dengan nama meriam karbit. Meriam tersebut terbuat dari kayu mabang atau meranti dengan ukuran diameter antara 50 – 70 centimeter dan panjang kisaran 5 hingga 6 meter.
Tak ada sedikitpun rasa takut dalam diri Chandra (33), warga Tambelan Sampit, tatkala menyulut meriam karbit. Padahal bunyi yang dihasilkan permainan tradisional yang sudah menjadi tradisi saat bulan Ramadan dan menyambut Idul Fitri ini sangat dahsyat. Baginya, bermain meriam karbit sudah menjadi bagian kehidupan warga sekitar tepian Sungai Kapuas terutama saat menyambut lebaran. Meski tanpa Festival Meriam Karbit yang biasa digelar rutin setiap tahun, namun Setia Tambelan, nama kelompoknya, tetap memainkan permainan yang merupakan bagian dari sejarah berdirinya Kota Pontianak.
“Pada tahun ini kami menyiapkan tujuh meriam karbit untuk dimainkan menyambut lebaran,” katanya saat ditemui di tepian Sungai Kapuas Tambelan Sampit tempat kelompoknya memainkan meriam karbit, Rabu (27/4/2022) malam.
Chandra menceritakan bagaimana awal proses pembuatan meriam karbit hingga cara memainkannya. Kata dia, untuk menghasilkan sebuah meriam, setidaknya dibutuhkan tiga sampai empat hari hingga siap untuk dimainkan atau dibunyikan. Agar tidak dikejar waktu, meriam-meriam itu sudah mereka kerjakan jauh sebelum bulan puasa.
“Supaya terlihat menarik dan indah, meriam-meriam ini kami hiasi dengan cat berwarna-warni,” ungkapnya.
Dentuman meriam yang menggelegar itu dihasilkan dari karbit sebagai bahan bakarnya. Menurut Chandra, karbit yang dipersiapkan pada permainan meriam tahun ini sebanyak 150 sampai 200 kilogram. Untuk menghasilkan bunyi yang besar, idealnya sebuah meriam membutuhkan bahan bakar karbit sebanyak seperempat kilogram karbit.
“Waktu yang dibutuhkan untuk karbit berproses, idealnya enam sampai tujuh menit meriam siap untuk disulut dan menghasilkan dentuman,” ungkapnya.
Chandra merupakan satu di antara sekian banyak pemain meriam karbit yang masih eksis hingga kini. Bermain meriam karbit bagi dirinya adalah sebuah kebanggaan karena ikut melestarikan tradisi dan budaya yang dimiliki Kota Pontianak. Apalagi, permainan Meriam Karbit ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Saya yakin permainan meriam karbit ini tak lekang oleh waktu karena sudah menjadi bagian kehidupan warga Pontianak khususnya yang bermukim di tepian Sungai Kapuas,” imbuhnya.
Sebelumnya, Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menyatakan penyelenggaraan Festival Meriam Karbit tahun ini kembali ditiadakan sebagaimana tahun lalu. Kendati demikian, permainan meriam karbit tetap diperbolehkan.
“Kalau masyarakat ingin memainkan meriam karbit silakan, tetapi tahun ini kita tidak menggelar festival seperti tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Sejak awal pandemi Covid-19, yakni tahun 2020 festival yang banyak menyedot perhatian masyarakat ini sementara ditiadakan. Langkah itu diambil sebagai upaya mencegah kerumunan orang di tengah kondisi pandemi Covid-19.
“Insya Allah tahun depan kita akan gelar supaya lebih meriah lagi,” ucap Edi.
Meski permainan rakyat yang dimainkan di tepian Sungai Kapuas ini diperkenank