Banda Aceh – Media Humas Polri Bobroknya Pemerintahan Aceh di bawah kepemimpinan Nova Iriansyah semakin nyata terlihat di mata publik. Pasalnya, terdapat sejumlah kebijakan hingga pengabaian terhadap aturan yang semakin terang-terangan dan begitu berani dilakukan.
Banyak kebijakan yang sangat melukai publik, yakni diantaranya realisasi program bantuan perumahan untuk dhuafa yang sengaja ditunda pelaksanaannya dengan alasan yang tidak jelas. Pembangunan masjid dan dayah yang sering dipangkas anggarannya.
Padahal, dari segi anggaran yang ada di Aceh sangatlah besar, bahkan merupakan Provinsi dengan anggaran nomor 2 terbesar di Indonesia dengan predikat angka kemiskinan nomor 1 di Sumatera.
Belum lagi, sejumlah indikasi mega korupsi yang mengundang hadir lembaga anti rasuah untuk mengadakan penyelidikan terbuka di Aceh dan menguak sejumlah dugaan potensi korupsi diantaranya Pengadaan 3(tiga) unit Kapal Aceh Hebat dengan anggaran Rp. 175 Milyar, Pembangunan 14 ruas jalan dengan System Multiyears Contract (MYC) dengan anggaran mencapai Rp. 2,4 Triliun, pembangunan gedung Oncology RSZA Rp. 237 Milyar, BTT penanganan Covid-19 sebesar Rp. 118 M dan penggunaan dana Refocusing penanganan Covid-19 yang mencapai lebih Rp. 2 Triliun.
Kebrobobokan Pemerintah Nova Iriansyah tak berhenti sampai disitu saja, munculnya isu tentang anggaran siluman berkode Apendiks sebesar Rp. 250 Milyar semakin menunjukkan bahwa Pemerintah Aceh saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Mirisnya lagi, sejumlah temuan Badan Pengawas Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan APBA tahun anggaran 2020 terkesan diabaikan begitu saja.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pasal 20 disebutkan bahwa pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi laporan hasil pemeriksaan.
Bedasarkan UU tersebut, tenggang waktu diberikan untuk menindaklanjuti rekomendasi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)itu dalam waktu 60 hari, namun hal tersebut diabaikan begitu saja sehingga sejumlah temuan masih belum ditindaklanjuti hingga batas waktu ditentukan, maka sudah seyogyanya untuk dipidanakan,” ungkap Koordinator Majelis Pemuda Aceh (MPA), Heri Mulyandi, Senin (12/07/2021).
Heri menjelaskan, jika dihitung 60 hari sejak penyerahan LHP melalui paripurna DPRA tanggal 4 Mei 2021, maka batas waktu untuk menindaklanjuti temuan BPK RI tersebut jatuh tempo pada 3 juli 2021. Namun, hingga lewat 8 hari sejak tempo yang ditetapkan masih banyak temuan yang diabaikan.
“Dari 245 temuan BPK pada APBA tahun anggaran 2020, hanya 149 temuan yang ditindak lanjuti, sisanya 96 temuan yang masih belum ditindaklanjuti hingga batas waktu 60 hari. Ini menunjukkan Pemerintah Aceh mengabaikan temuan tersebut, dan Kami mendesak agar 96 temuan yang belum ditindak lanjuti ini segera dipidanakan,”tegasnya.
Selain itu, MPA meminta Pansus DPRA yang bertugas terkait tindak lanjut temuan LHP BPK ini, untuk lebih proaktif dalam bekerja.
“Kita berharap Pansus DPRA tidak masuk angin, dan menindak lanjuti berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh para pejabat negara demi mewujudkan roda pemerintahan Aceh yang baik, bersih dari korupsi, dan berpihak rakyat.
Apalagi tempo waktu yang ditetapkan sesuai undang-undang sudah lewat. Pansus DPRA harus segera menyerahkan sejumlah temuan yang belum ditindaklanjuti kepada aparat penegak hokum, sebagai bentu pertanggungjawaban DPRA terhadap rakyat,” ujar Heri.
Seterusnya, MPA juga berharap agar pihak penegak hukum untuk tidak ragu-ragu melakukan langkah hukum yang terukur kepada Gubernur dan Sekda Aceh yang telah mengabaikan dan tidak menindaklanjuti temuan BPK RI.
“Ini sanksi pidana penting yang harus diambil oleh penegak hukum. Jika tidak, ke depannya makin banyak pejabat pemerintahan daeran yang menganggap enteng dan memandang sebelah mata semua temuan itu,”pungkasnya.