Pakar Hukum Unira Polri Hadir di Kanjuruhan sesuai Tupoksinya

Pakar Hukum Unira Polri Hadir di Kanjuruhan sesuai Tupoksinya

Media Humas Polri.com || Surabaya, JawaTimur.

Bacaan Lainnya

Semua perbuatan itu harus berangkat dari Mens Rea-nya atau niat dari perbuatannya. Hal ini disampaikan Muhammad, S.H.,M.H, pakar hukum Universitas Madura (Unira).

“Dalam kasus Kanjuruhan yang timbulnya banyak korban jiwa, tentu kita paham dan kita Yakini bahwa maksimal yang terpenuhi adalah delik culpa atau ketidak sengajaan, bukan dolus, meskipun yang menjadi pemicunya atau trigernya sangat mungkin ditemukan delik kesengajaan,” ucapnya saat ditemui di Kampus Unira Senin (17/10/2022).

Lebih lanjut, Dosen pembina bagian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara itu menjelaskan, Untuk mengkajinya secara hukum tentu kita harus membahas dari para pihak yang memiliki keterkaitan secara langsung.

“Kita paham bahwa Polri sesuai tugas pokoknya, hadir disana adalah dalam rangka mengamankan pertandingan sepakbola yang dihadiri oleh banyak pengunjung, penonoton atau supporter, oleh sebab itu harus kita yakini bahwa sulit rasanya kita menjerat aparat kepolisian dengan delik kesengajaan, yang paling memungkinkan adalah delik culpa, sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP. Barang siapa karena lalainya menyebabkan matinya orang lain.” tandasnya.

Jika kita prosesnya secara keseluruhan, lanjut pakar hukum Unira ini, telah ada proses prediksi atas berbagai kemungkinan yang dapat terjadi.

Dan hali itu telah dilakukan rapat berkali-kali dan telah dibuatkan rencana pengamanan yang melibatkan perbantuan dari Polres lain.

Pengamanan yang mencapai angka 2,4 ribu personel, maka menurutnya sulit menjerat atau menuduh Polri secara kelembagaan ataupun secara structural berjenjang, dalam perspektif hukum pidana.

“Apalagi telah ada surat resmi dari Kapolres yang meminta agar jadwal pertandingan dipercepat sore hari ataupun jumlah penonton yang dibatasi. Ini semua dilakukan adalah bagian dari proses antisipasi atau proses hati – hati itu sendiri,” imbuh Muhammad.

Muhammad juga menjelaskan. Sifat tugas anggota Polri yang unik, dimana didada setiap individu Polri melekat tanda kewenangan, maka sangat mungkin kelalaian itu dilakukan orang per orang secara individual yang kemudian kita katakan sebagai oknum anggota.

“Kita tahu Kapolri sudah menetapkan tiga orang tersangka, karena telah melakukan kelalaian yang memerintahkan anggota untuk menembakkan gas air mata dan 19 anggota terduga pelanggar disiplin dan kode etik, serta pencopotan Kapolres sebagai bentuk pertanggung jawaban moral,” ungkapnya.

Menurut pakar hukum Unira ini, Pihak PSSI dan panitia penyelenggara, juga telah melakukan kelalaian yang fatal.

Sebagai penggiat sepakbola tentu mereka mestinya paham bahwa stadion kanjuruhan tidak memenuhi standart untuk digunakan sebagai tempat pertandingan dengan penonton yang besar, semestinya sejak awal pembangunan telah ada proses asistensi atau pendampingan sebagai konsultan.

“Pada tataran ini kelalaian telah ada pada mereka. Patut diuga oleh mereka tetapi mereka tidak melakukan,” celetuk Muhammad.

Lanjut Muhammad. Pihak Kepolisian sudah mengajukan permohonan untuk pertandingan majukan sore hari dan jumlah penonton dikurangi, akan tetapi mereka abai, arogansi kekuasaan pengurus telah memaksa dan menolak secara resmi permohonan Polri.

Dalam konteks ini kelalain mutlak ada pada mereka, apalagi perhelatan sepakbola dianggap diluar domain Polri untuk bisa mengaturnya.

Polri sifatnya hanya dimintakan perbantuan pengamanan, mereka hanya berkewajiban memberitahukan agar Polri tahu dan mempersiapkan keamanan.

“Polri menurut undang-undang memang tidak dibenarkan untuk menolak atau melarang, kecuali dalam hal yang benar-benar untuk kepentingan yang lebih besar bagi masyarakat secara umum,” tuturnya.

“Kita tahu bahwa timbulknya banyak korban, lebih disebabkan berdesakan saat akan keluar, karena kepanikan saat gas airmata ditembakkan, sementara pintu tidak terbuka dan dibuka utuh, pertanyaan kita siapa yang memeiliki kewenangan dan memegang kunci pintu?, menurut penulusuran saya, kunci itu dipegang oleh Panpel yang justru membuka baju dan pergi saat kerusuhan terjadi,” jelasnya.

Menurut Muhammad, ini merupakan bentuk kelalaian yang fatal, tidak bertanggung jawab atas tugas dan wewenangnya, andaikan saja pintu semua terbuka, pintu dibuka 5-10 menit sebelum peluit berahir, boleh jadi korban jiwa bisa dihindarkan.(*RlsHms/wahyuMhp*)

Pos terkait