Media Humas Polri//Bojonegoro
Diungkapkan salah satu warga yang sengaja namanya kami rahasiakan, kegiatan tambang yang berlangsung di Dukuh Kentong tersebut dipastikan tak berizin.
“Sebelumnya saya mau buka kegiatan galian tambang di lokasi tersebut, atas permintaan dan syarat dari Kades setempat, harus Memenuhi syarat perizinannya,” ucapnya, Rabu, 06 November 2024.
Atas hal tersebut, narasumber kemudian menggandeng seseorang bernama Taufik, lantaran mengaku memiliki CV. Lillahi Samawati Wal Ardhi (LSWA) yang bergerak dibidang pengolahan lahan.
“Taufik sebelumnya ceker saya (petugas cek material kiriman) warga Singgahan, CV Lillahi Samawati Wal Ardhi (LSWA) dulu dibuatkan oleh saudaranya Taufik, orang satu kampung dengan Taufik, juga seorang wartawan dan termasuk bagian dari struktur pengurus CV. LSWA tersebut.” Imbuhnya.
Narasumber juga menjelaskan, CV Lillahi Samawati Wal Ardhi (LSWA) ialah badan usaha yang memiliki legalitas dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang bersertifikat dalam kode KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) dibidang pengelola Lahan pertanian.
PNoerlu di ketahui, NIB (Nomer Induk Berusaha) merupakan dokumen akta kelahiran suatu badan usaha, yang di terbitkan dari Kemenkumham, dengan mengajukan kompetensi bidang keahlian yang bersertifikat dalam KBLI melalui Notaris yang di tunjuk, lazimnya untuk melalukan kegiatan eksploitasi dan eksplorasi tentunya di perlukan perizinan kegiatan secara spearifik dalam bentuk IUP, WIUP, OP dan SMB (Sertifikat Muatan Barang).
Lanjut narasumber, ketika pekerjaan pengambilan galian tanah urug baru berjalan beberapa hari, Taufik sering melakukan kecurangan. Seperti dalam melakukan pembukuan, jumlah penjualan tanah urug yang di laporkan tidak sesuai fakta.
“Umpama laku penjualan 10 rit, pengakuan dan pembukuan hanya dimasukkan 1 rit, sering saya meminta abangnya untuk menegur, agar tidak salah faham, setidaknya melalui abangnya atau saudaranya dia bisa menasihati.” Tuturnya.
Diceritakan narasumber, dalam menjalankan bisnis pertambangan tanah urug di Dukuh Kentong dirinya belum menggunakan badan usaha CV. Namun, agar dalam proses penerbitan perizinan dan koordinasi dengan para pihak bisa lebih cepat selesai, Taufik menawarkan untuk menggunakan CV tersebut, dengan kesepakatan pihak CV mendapat fee Rp 5000 per ritase.
“Akan tetapi seiring berjalannya waktu, sekitar dua minggu, tiba-tiba yang diberikan fee Rp 5000 per ritase malah saya , padahal pemodal dan pemrakarsa awal adalah saya, tapi seenaknya pekerjaan penambangan mau diambil alih sepenuhnya atas nama CV tersebut.” Jlentrehnya.
Berawal dari situ, narasumber merasa didepak dari tim CV LILAHI, bahkan dalam proses pendepakan Taufik juga bekerja sama kong kali Kong dengan perangkat Desa Setempat dengan Kamituwo (Kepala Dusun Kentong).
“Mas, Kamu yang mengawali pekerjaan, kamu yang memrakarsai pekerjaan disini, kamu sudah habis banyak modal, kamu yang mengawali koordinasi, berikutnya apakah kamu bisa menerbitkan perizinan yang lengkap.” Beber narasumber dengan menirukan perkataan Kamituwo.
Mendapati hal itu, narasumber tidak patah semangat untuk melakukan kesiapan perizinan. Kemudian dalam waktu seminggu, ia mendapat partner pengusaha yang legalitas perizinannya lengkap.
“Saat ini saya menggandeng pengusaha atas nama pak Hartono warga Pagerwesi Trucuk, yang memiliki CV lengkap perizinannya.
Kemudian saat perizinan sudah dilengkapi dan pekerjaan akan dimulai, saya menghadap Kades yang punya mantu polisi di polres untuk koordinasi lanjutan memulai pekerjaan, sekaligus membahas nilai kontribusi kepada Desa dan Lingkungan. Waktu itu saya tawarkan Karang Taruna dapat 7rb per rit, lingkungan 3rb per rit, dan Kades 5rb per rit, namun tawaran saya tidak disepakati, dan dikehendaki harus 20rb per rit masuk Desa dan dibagikan sepenuhnya melalui kewenangan Kepala Desa.” Terangnya.
Sementara itu, Soehirman, Kepala Desa Sumberejo mengaku benar kalau mendapat retribusi atas kegiatan tambang tersebut, hanya saja jumlahnya tak pasti.“Dapat 5 rb per rit, dan diurus oleh pak Kasun, itu pun saya masukkan ke PAD.” Pungkasnya. ( Mhp )