PIMDA PKN KEPRI PRIHATIN TINDAKAN REPRESIF TERHADAP WARGA REMPANG BATAM

*PIMDA PKN KEPRI PRIHATIN TINDAKAN REPRESIF TERHADAP WARGA REMPANG BATAM*

Media Humas Polri || Batam

Bacaan Lainnya

Kepolisian Indonesia kini menjadi pihak terdepan untuk menghadapi berbagai kerumunan masyarakat sipil, dari demonstrasi, hingga pertandingan bola. Untuk mengendalikan kerumunan, polisi kerap menggunakan gas air mata secara berlebihan yang berujung pada tingginya angka korban akibat gas air mata.

Pimpinan Daerah (PIMDA) Partai Kebangkitan Nusantara Kepri menyayangkan tindakan agresif kepolisian dalam menghadapi masyarakat di Pulau Rempang-Galang, yang mengakibatkan sejumlah masyarakat dan beberapa siswa siswa jadi korban.

Menurut Yenni Marlina, Ketua Pimpinan Daerah Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Prov. Kepri penggunaan gas air mata untuk menangani kerumunan sebenarnya sudah mencederai prinsip dasar demokrasi di Indonesia. Jika Indonesia memang sebuah demokrasi, setiap masyarakat harus berhak menyampaikan pendapatnya, termasuk dalam bentuk unjuk rasa. Apabila dalam demonstrasi ada yang membuat kerusuhan, penanganan hendaknya dilakukan hanya terhadap individu tersebut, alih-alih membubarkan dan menyerang seluruh peserta unjuk rasa.

“Penggunaan gas air mata oleh polisi telah mencederai demokrasi. Ini serius sebetulnya. Dia merusak demokrasi karena tujuannya membatasi pendapat orang. Padahal esensi demokrasi adalah orang bisa berpendapat. Ketika orang nggak bisa berpendapat lagi, ya bukan demokrasi namanya. ,” ungkap Yenni

“Meski pun kesannya hanya satu, gas air mata, sebenarnya masih ada kaitannya dengan penggunaan kekuatan lainnya, misalnya pemukulan, penangkapan, penggundulan. Oleh karena itu, saya katakan tadi, kita tidak bisa memisahkan masalah gas air mata dari keseluruhan penyalahgunaan kekuatan yang lain”.

Yenni juga menyesalkan, tidak adanya antisipasi dan tidak ada yang berempati dengan anak-anak dan perempuan di kejadian pembubaran paksa pemblokiran jalan Jembatan 4 Rempang Galang Batam (7/9/2023). Para ibu-ibu syok dan trauma dengan kejadian itu. Bahkan, dari video yang beredar, terlihat ibu-ibu sulit bernafas, akibat gas airmata yang ditembakkan oleh petugas.

” Semua dengan ketakutan berlarian kesana kemari, begitupun dengan anak-anak, seperti terlihat di salah satu video di sekolah SD di Rempang sana, itu juga sama semuanya dievakuasi oleh gurunya, ada yang mengarahkan bapak guru kemudian dikeluarkan dari dari kelasnya,” ungkapnya.

Yenni melanjutkan, inti dari masalah ini, apapun kebijakan dari pemerintah baik dari segi relokasi, atau apapun, seharusnya pemerintah mengedepankan kepentingan masyarakat, terutama anak-anak.

“Seharusnya kepolisian di sini bisa melihat, apakah sudah bertindak sesuai dengan SOP karena di video tersebut kita mendengar adanya suara-suara tembakan gas air mata yang menandakan jaraknya sangat dekat dengan sekolahan,” tutup Yenni.

Bagi Yenni, seharusnya kewenangan polisi dalam menangani massa aksi dengan membawa sejumlah besar gas air mata dicabut. dan menurut Yenni menjelaskan bahwa pendekatan yang kini digunakan oleh pihak kepolisian terhadap masyarakat sipil yang sedang berkumpul memang seperti “perang” alih-alih usaha untuk melindungi warganya.///( Amrizal )

Pos terkait