Polda Maluku Gelar Dialog Bicara Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak
Media Humas Polri || Maluku
Kepolisian Daerah Maluku menggelar dialog dengan mengusung tema diversi dalam sistem peradilan anak.
Diskusi yang menghadirkan sejumlah pemateri ini berlangsung di kantor RRI, kota Ambon, Rabu (28/9/2022).
Sejumlah pemateri yang hadir yaitu Iptu Yefta Marson Malasa dari Ditreskrimum Polda Maluku, DR. Milza Titaley SH, MH, pembimbing kemasyarakatan ahli muda Bapas Maluku, DR. Jhon Dirk Pasalbessy SH, M.Hum, Dekan Fakultas Hukum UKIM, dan Prisca Diantara Sampe S.Pi, M.Si, pakar psikolog.
Iptu Yefta mengaku Polda Maluku khususnya penyidik subdit 4 Ditreskrimum yang menangani kasus tindak pidana terhadap Perempuan dan Anak telah mempunyai kwalifikasi. Dan pada beberapa waktu lalu telah dilakukan assesment untuk menguji kembali para penyidik anak.
“Dan hasil assesment kwalifive atau berkompoten untuk melaksanakan tugas tugas penyidikan terhadap tindak pidana anak dan perempuan,” kata dia.
Diversi kata dia adalah alternatif penyelesaian perkara pidana bagi anak. Sehingga pihaknya tidak lagi terkungkung dalam satu model penyelesaian harus berakhir di pengadilan, tapi ada model lain yang bisa ditawarkan.
“Oleh sebab itu, ini mestinya terus diedukasi program seperti ini penting,” katanya.
Menurutnya, ada beberapa hal kegagalan dilaksanakannya diversi anak. Yaitu karena alasan kultural. Dimana orang lebih merasa lebih baik jika melalui proses hukum.
“Menghukum itu lebih memuaskan bagi korban dan lewat proses proses edukasi kita mulai menjelaskan dan bisa memberi pemahaman bahwa diversi jauh lebih baik karena itu memulihkan,” ujarnya.
Sementara itu, Prisca, pakar psikolog, mengatakan lingkungan berperan penting dalam membentuk perilaku anak. Karena anak dalam perkembangannya selalu mencari jati diri atau ingin mengetahui hal hal baru.
“Kalau kita lihat dari psikologis anak penanganan (perkara anak) yang harus dilakukan pastinya harus dilakukan dengan ramah,” kata dia.
Ia mengatakan, kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan anak terjadi karena dapat dipicu faktor eksternal. Misalnya pola pengasuhan orang tua anak. Kalau terbentuk dari pola pengasuhan yang otoriter dimana segala sesuatunya harus melalui kekerasan, maka itu akan membentuk kepribadian anak. Anak itu bila ingin mendapatkan sesuatu maka harus dengan kekerasan.
“Teman sebaya atau lingkungan juga menjadi salah satu faktor yang mendorong anak untuk melakukan tndakan kejahatan,” ujarnya.
Menurut Jhon, Dekan Fakultas Hukum UKIM, penerapan diversi dan restoratif justice sudah dimiliki orang Maluku sejak lama. Hanya kata katanya saja yang baru.
“Kita orang Maluku sudah lakukan diversi dan restoratife justice sejak lama seperti kita duduk bersama menyelesaikan persoalan,” katanya.
Jhon menghimbau semua lapisan masyarakat agar dapat mendidik anak dengan baik dan bijak. Menangani anak bukan sebuah beban dan harus ditangani atas dasar rasa cinta.
“Anak ini masa depan kita, orang tua pasti tidak menghendaki anak itu untuk masa depannya hancur, karena itu sabar mencintai anak dan kita bisa menyelesaikan itu. Agar hindari proses- proses hukum anak karena akan ada stikma label yang diterima, dan itu akan berpengaruh terhadap psikologi anak dikemudian hari,” katanya.
Sementara itu, Milza Titaley, mengatakan, pihaknya senantiasa memberikan pembimbingan dan pendampingan terhadap anak yang berurusan dengan hukum.
“Bapas mempunyai peran yang sangat penting karena kita tahu bahwa diversi ini wajib, pasal 7 Undang undang sistem peradilan pidana anak, wajib dilaksankan pada tiap tingkatan di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,” kata dia.
Bicara diversi, kata Titaley, harus berbicara dulu dari proses awalnya yang menjadi pegangan. Dimana pihaknya akan melakukan pendampingan awal di tahap penyidikan terhadap pemeriksaan awal untuk anak.
“Dan ada kemungkinan kami akan melakukan penelitian kemasyarakatan yang melahirkan rekomendasi dan rekomendasi itu akan dipakai untuk proses diversi di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,” jelasnya.