Sebut Cakar Oligarkhi Kian Mengancam Lembata Membara Pengamat Politik Pius Rengka Ajukan Lima Pertanyaan Tajam
Media Humas Polri ||Lembata
Meminjam perspektif Rene Descartes (1641), makna spekulasi sebagai sesuatu yang mendasari keragu-raguan tentang segala sesuatu, khususnya tentang hal-hal yang bersifat material. Sifat keragu-raguan ini dapat membebaskan kita dari berbagai macam prasangka, dimana prasangka ini dapat melepaskan akal dari pengaruh panca indra. Sehingga dapat memberikan jalan sederhana atau komponen-komponen (kesimpulan) yang membentuk keseluruhan_ .
Empat minggu belakangan ini, api kompetisi politik perebutan kursi Bupati dan Wakil Bupati di Lembata, kian panas membara. Oligarkhi versi lama atau oligarkhi berjubah baru ditengarai mengancam dengan cakar kekuatan uang untuk menyedot perhatian publik. Kaum ini percaya bahwa kemenangan elektorasi bukan ditentukan oleh kesanggupan aktor mengelola kepentingan terbesar rakyat, tetapi elektorasi ditentukan oleh seberapa besar duit disiapkan untuk membeli kedaulatan rakyat. Maka ampas yang tersisa adalah sejenis harapan kepada rakyat Lembata sendiri. Sebab semua kemenangan politik pada puncaknya ditentukan oleh akumulasi suara pilihan rakyat. Ungkap Pius Rengka Ketika dikonfirmasi Wartawan Media ini, Kamis ( 30/5/2024) malam dengan membenarkan pernyataan sebelumnya di media selatan Indonesia,Com
Kemudian Pius Rengka melontarkan pertanyaan tajam, Apakah rakyat Lembata masih nyaman didikte oleh para pemilik modal ataukah mereka sanggup melakukan perlawanan sangat keras sambil mengatakan dengan tegas tidak pada kaum oligarkhi dan komplotannya?
Apakah rakyat jelata Lembata gampang terbimbing oleh rayuan pemilik uang yang menganggap harga diri rakyat Lembata gampang ditukar rupiah? Apakah rakyat Lembata sanggup melakukan perlawanan dengan cara mengumpulkan kekuatan sendiri demi memenangkan aktor politik yang mereka perjuangkan tanpa kekuatan uang? Apakah memang benar manusia Lembata bodoh politik di tengah gelimpangan asumsi bahwa manusia Lembata adalah kumpulan orang cerdas? Tanya Pius Rengka.
Pertanyaan pertanyaan inilah yang kini sedang menjadi diskursus di kalangan luas Lembata.
” Saya membaca riak kegelisahan rakyat di sana empat minggu belakangan ini melalui sejumlah media terakses. Sekurang-kurangnya ada lima isu yang kini sedang digumuli rakyat pemilih di sana yakni : Pertama, isu yang terkait dengan peran dan fungsi partai politik. Kuat kesan bahwa partai politik mencari dan menemukan kandidat yang kuat. Pengertian “kuat” di sini dimaknai sebagai aksesibilitas dan kohesivitas para politisi partai terhadap para aktor politik internal dalam nefo struktur ke atas dan ke bawah. Akses ke atas maksudnya siapa di antara para kandidat partai politik yang memiliki relasi kuat ke partai politik dari jenjang jejaring paling bawah hingga Jakarta. Rakyat Lembata cenderung berpikir sebaiknya partai politik mengusung calon bupati dan wakil bupati dari kalangan sendiri. Bukan orang lain di luar partai politik. Dan, bukan orang lain yang bukan orang Lembata.
Kedua, isu kecenderungan faksional konvensional terkait keterbelahan politik di Lembata antara calon bupati wakil bupati orang asli Timur dan Barat atau antara Utara dan Selatan. Bagi rakyat isu ini tidak lagi relevan sejauh calon bupati dan wakil bupati yang dicalonkan itu benar-benar anak kandung negeri dari partai politik yang menyadari penderitaan rakyat Lembata lima belas tahun belakangan. Referensi rejim serakah 15 tahun lalu dianggap gagal total membawa Lembata keluar dari penderitaannya. Karenanya, mereka tidak lagi mau diakali untuk kesekian kalinya. Sikap dan kesadaran politik massa itu, sejenis pertobatan politik demi memulihkan luka batin situasi dan kondisi politik pembangunan di Lembata. Bahkan sikap politik itu sebagai kesadaran gerakan politik rakyat.
Ketiga, isu pro oligarkhi atau pro kekuatan rakyat jelata. Tampaknya situasi dan kondisi keterbelahan di Lewoleba persis seperti mengulangi keterbelahan politik yang pernah terjadi di Amerika Latin, yaitu pro orang kaya atau pro sesama miskin. Dikotomi ini dialami di Venezuela di bawah Chávez dan penerusnya, Nicolás Maduro, ketika Venezuela mengadopsi kebijakan sosialis yang berfokus pada redistribusi kekayaan, tetapi menghadapi tantangan ekonomi besar seperti hiperinflasi dan kelangkaan barang. Sebaliknya Chile adalah contoh negara yang lama diadopsi kebijakan neoliberal sejak era Pinochet, tetapi kemudian mengalami protes besar terhadap ketimpangan sosial. Keterbelahan politik di Amerika Latin mencerminkan perbedaan pandangan mendasar tentang bagaimana seharusnya ekonomi dan masyarakat diatur.
Di satu sisi, kekuatan pemilik uang mendorong kebijakan publik sebagai jalan menuju kemakmuran diri sendiri. Di sisi lain, kekuatan rakyat berjuang untuk keadilan sosial dan ekonomi melalui intervensi negara dan redistribusi kekayaan. Konflik antara kedua kekuatan ini membentuk lanskap politik dan ekonomi. Bagi rakyat Lembata, pro orang kaya artinya pro penindas yang asyik mengurus kepentingan sindiri dan komplotannya. Proyek pemerintah diatur sedemikian rupa untuk kepentingan mereka sendiri. Aksesibilitas properti pribadi lebih diutamakan dibandingkan dengan akses dan kontrol keadilan bagi rakyat Lembata. Mereka gerah. Mereka tidak mau mengulangi jenis kebodohan yang sama.
Keempat, semacam tersulut atau terinspirasi oleh spirit pemimpin populis kiri seperti Hugo Chávez di Venezuela, Evo Morales di Bolivia, dan Luiz Inácio Lula da Silva di Brasil sebagai contoh para tokoh yang pro-rakyat dan anti-neoliberal, maka rakyat Lembata dan juga elit birokrasinya mengakui kalau pembangunan Lembata selama ini gagal total. Pembangunan gagal total karena ulah oligarkhi serakah yang mengurus diri sendiri. Memang, belum diketahui pasti siapakah gerangan yang dituding sebagai oligarkhi serakah di Lembata,. Tetapi, diduga tudingan itu diarahkan kepada siapa saja. Konon, belasan tahun belakangan kaum tertuding itu mendapatkan keuntungan dari proyek APBD dan APBN. Komplotan itulah yang merebut kursi kekuasaan politik hanya demi melayani kepentingan pribadi dan para kompradornya. Informasi dari kalangan Birokrat menyebutkan”kami ingin kembali ke orang asli Lembata anak Lewotana”. Tidak dijelaskan rinci apa maknanya. Ucapnya
Kelima, isu lahirnya bayi gerakan solidaritas dan perlawanan rakyat di Lembata. Yang dimaksud dengan gerakan perlawanan rakyat ialah gerakan yang dibangun berbasis pengalaman derita dan cita-cita bersama rakyat sendiri. Demi kepentingan itu, rakyat Lembata menyadari kekuatan uang hanya dapat dilawan dengan kekuatan suara rakyat sendiri. Artinya kekuatan rakyat tidak boleh terbimbing atau dikendalikan oleh kekuatan uang. Jika toh harus dikendalikan oleh kekuatan uang, maka rakyat sendiri harus mengumpulkan uang juga untuk melawan kekuatan kelompok oligarkhis. Semangat konsolidasi ini, konon terasa makin mendidih karena pengalaman buruk yang dialami ketika kekuatan uang sering dipakai elite ekonomi dan politik yang memiliki akses ke kekayaan dan kekuasaan di Lewoleba. Mereka cenderung mengkonstruksi dan mendukung kebijakan yang menguntungkan investasi bagi kepentingan kelompok pemilik uang yang juga menguasai politik elit di Lembata. Maka kawasan tampan di seluruh pesisir Lembata dikuasasi oleh pemilik kekuasaan uang dan politik yang diperoleh melalui jalan pemilu. Maka menghadapi pemilihan bupati wakil bupati kali mendatang, rakyat perlu berpikir. Ujar Mantan Maneger and Community Eternal Affairs PT Batutua Tembaga Raya.
Meski demikian, Sebut Dia ( Pius Rengka) , bahwa dengan melihat lima isu itu masih prematur untuk dianggap sebagai sebuah kebenaran empiris. Dia hanya sejenis spekulasi dadakan karena terdorong kemiripan penderitaan dan kemarahan yang sama. Rakyat marah karena pengalaman buruk masa silam. Lalu, mereka sadar untuk tidak lagi boleh memilih orang yang salah dari kaum sejenis. Ujarnya.
Dijelaskannya, Jika gerakan sosial belum terkonsolidasi sebagai sebuah kekuatan gerakan politik, maka saya pasti meragukan elan vital perjuangannya. Tambahan lagi, ditengarai banyak mantan aktivis berpengaruh malah mengabdi pada kepentingan pemilik modal dominan di sana. Jelas Pius Rengka.
Karena itulah, ungkapan Rene Descartes sebagaimana dikutip di awal tulisan ini semacam ingatan kepada kita untuk tidak lekas menjadikan isu-isu tersebut sebagai fakta sosial. Lima isu tersebut mungkin diperlakukan sebagai spekulasi yang mendasari keragu-raguan tentang segala sesuatu yang dapat membebaskan kita dari berbagai macam prasangka, dimana prasangka ini dapat melepaskan akal dari pengaruh panca indra. Ujar Pengamat Politik NTT, Pius Rengka.
Namun, Kata Pius Rengka, Substansi gerakan sosial politik memang sangat diperlukan tidak hanya terarah dan diarahkan untuk melakukan perlawanan terhadap rejim gagal dan rejim jahat, tetapi juga dimanfaatkan untuk memulihkan dan memuliakan kebaikan bersama di sana. Pro bonum commune pro patria. Tutur Pius
Jurnalis/ Ahmad