UU PERS SEBAGAI “LEX SPECIALIS” DALAM PENYELESAIAN MASALAH PEMBERITAAN PERS BUKAN KRIMINAL.
Media Humas Polri Perwujudan kebebasan dalam menyampaikan pendapat di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh mereka yang berkecimpung dalam bidang jurnalistik. Ketentuan tentang hal-hal yang terkait dengan jurnalistik diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Penerapan undang-undang ini dari sejak diundangkan sampai saat ini sarat dengan perjuangan agar pers mendapatkan perlindungan ketika menjalankan kemerdekaan dalam mencari, memperoleh, dan menyajikan informasi. Perlu diketahui bahwa ketentuan yang berkaitan dengan kebebasan menyampaikan pendapat tidak hanya terimplementasi dalam undang-undang tentang pers, tetapi juga undang-undang lain. Sekalipun demikian, upaya penyelesaian kasus dalam bidang jurnalistik ini barangkali dapat dijadikan sebagai salah satu contoh bagaimana penyelesaian masalah yang bermula dari sebuah informasi (misalnya penyelesaian kasus-kasus hate speech dalam lingkup Undang-Undang ITE).
Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999) diterbitkan dalam suasana reformasi. Pada saat itu tuntutan atas kebebasan pers dianggap sangat mendesak untuk menjadi salah satu agenda reformasi. Kesadaran ini muncul karena pers merupakan pilar keempat yang harus ada dalam suatu negara demokrasi. Mereka menjalankan fungsi kontrol sosial pada jalannya pemerintahan supaya tidak terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme. Pers pada masa Orde Baru berada pada masa pers otoritarian, yaitu sistem pers yang menempatkan media sebagai alat propaganda pemerintah. Fungsi pers pada masa itu adalah menjustifikasi kebenaran menurut negara tentang berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Pers boleh mengeluarkan kritik asalkan tidak bertentangan dengan kepentingan status quo. Otoritas perizinan media ada di tangan pemerintah. Izin dapat dicabut secara sepihak setiap saat, dan sensor pers dilakukan secara ketat.
Pada masa tersebut, kesalahan yang dilakukan oleh pers dapat dikategorikan sebagai delik pers berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam KUHP (ketentuan ini tidak secara khusus menunjuk bahwa delik tersebut adalah delik pers). Delik pers dapat dibagi dalam lima kategori, yaitu:
Kejahatan terhadap ketertiban umum (hatzaai artikelen), diatur dalam pasal 154, 155, 156 dan 157 KUHP yaitu pasal-pasal tentang penyebarluasan kebencian, dan permusuhan di dalam masyarakat terhadap pemerintah;
Kejahatan penghinaan, terdiri dari dua bagian penghinaan, yaitu :
penghinaan terhadap Presiden (pasal 134 dan 137) termasuk pula disini penghinaan terhadap badan atau alat kekuasaan negara (pasal 207, 208, dan 209 KUHP)
penghinaan umum, diatur dalam pasal 310 dan 315 KUHP
Kejahatan melakukan hasutan (kejahatan ini sering disebut dengan istilah provokasi, yaitu berupa upaya atau tindakan untuk mendorong, mengajak, membangkitkan atau ‘membakar’ orang lain supaya melakukan suatu perbuatan. Kejahatan ini diatur dalam pasal 160 dan 161 KUHP)
Kejahatan menyiarakan kabar bohong; dan
Kejahatan kesusilaan (pornografi). Patut dicatat bahwa memuat atau menyebarluaskan gambar/tulisan yang melanggar susila, sudah diatur sejak lama dalam Pasal 282 dan 533 KUHP.
Sudah banyak contoh kasus pada masa Pemerintahan Orde Baru tatkala para pekerja pers didakwa atas kejahatan pers dan berakhir di penjara.
Ketika Undang-Undang Pers tahun 1999 diterbitkan, ketentuan pidana yang diatur di dalamnya mencakup masalah-masalah antara lain:
Dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) disebutkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran serta dalam menjamin kemerdekaan pers maka pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, tindakan yang melanggar pasal ini mendapat ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
Terhadap perusahaan pers berlaku ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 13 yaitu: pers nasional wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah, selain itu juga pers wajib melayani hak jawab. Pada Pasal 13 disebutkan tentang pelarangan pemuatan iklan yang bersifat merendahkan martabat dan mengganggu kerukunan beragama, menayangkan iklan minuman keras, psikotropika dan zat adiktif lain dan juga peragaan wujud rokok dan penggunaannya, maka terhadap pelanggaran ketentuan ini maka perusahaan pers diancam dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
Terhadap perusahaan pers yang tidak berbentuk badan hukum dan juga tidak melakukan kewajiban untuk mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan serta nama dan alamat percetakan, maka dapat dipidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Ketentuan di atas selain mengedepankan perlindungan terhadap kebebasan pers, juga memuat ketentuan agar pers dalam menjalankan peran dan fungsinya memperhatikan norma-norma dalam masyarakat. Namun perlu diperhatikan, bahwa dalam Undang-Undang Pers tidak diatur tentang pidana penjara atas kesalahan pers khususnya dalam memberitakan suatu peristiwa.
Meskipun demikian, ketika pada awal mula diundangkan, masih terdapat upaya untuk menerapkan ketentuan dalam KUHP untuk menuntut pers yang bersalah dalam membuat berita. Seperti kasus gugatan Tommy Winata kepada redaktur Tempo Goenawan Mohamad atas pencemaran nama baik pada tahun 2003. Oleh karenanya upaya-upaya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pers dan Dewan Pers untuk mensosialisasikan kepada semua penegak hukum dan pihak-pihak terkait terus dilakukan agar dalam menyelesaikan perkara pers para penegak hukum hendaklah berpegang pada Undang-Undang Pers sebagai aturan khusus. Pada akhirnya, penanganan permasalahan pers saat ini sudah sampai pada titik penerapan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 secara lex specialis yang didukung pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Meskipun disadari bahwa pers sendiri bukan suatu institusi yang bebas nilai ataupun netral, karena pers mempunyai kecenderungan untuk melakukan dosa-dosa pers antara lain berupa: (1) pemuatan pornografi; (2) pembunuhan karakter (character assasination) terhadap seseorang; (3) penyebaran berita palsu dan provokatif; (4) penayangan iklan menyesatkan; dan (5) pelibatan wartawan yang tidak profesional.
Terlepas dari itu, permasalahan pemberitaan oleh pers saat ini sudah ditangani berdasarkan mekanisme penggunaan hak jawab oleh mereka yang terkena pemberitaan yang merugikan nama baik. Pers mempunyai kewajiban dalam melayani hak jawab tersebut dengan memberikan kesempatan pada mereka yang dirugikan oleh pers untuk melaksanakan hak jawab yang biasanya dalam bentuk klarifikasi, baik dalam kolom pemberitaan maupun waktu tayang dalam pemberitaan di televisi. Dengan pengawalan yang dilakukan oleh Dewan Pers, maka saat ini sudah tidak lagi ditemui kasus-kasus terkait pemberitaan yang dibawa ke pengadilan. Kesalahan pemberitaan yang dilakukan oleh pekerja pers tidak lagi dipandang sebagai kejahatan yang memilki konsekuensi akan terkena pidana penjara. Seperti istilah yang selalu digunakan oleh mereka yang memperjuangkan kemerdekaan pers yaitu “kata-kata dibalas dengan kata-kata”.