Media Humas Polri // Mandailing Natal
Sebentar lagi di seluruh Indonesia akan bergaung perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mai dengan tokoh sentralnya adalah kepeloporan Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa dan Tut Wuri Handayani sebagai ikonnya.
Akan tetapi, sebelum Ki Hadjar Dewantara berbuat, ada beberapa tokoh pendidikan yang lebih dulu berbuat dan sangat berjasa , yang namanya hanya sayup-sayup bahkan tidak disebut dalam narasi besar peringatan Hardiknas di Indonesia.
Salah satu diantaranya adalah Willem Iskander yang bahan tentang dia harusnya sudah ditulis sangat lengkap dan tersebar luas, tapi sampai kini belum dimiliki para guru dan tokoh pendidikan.
Enam puluh tahun sebelum Taman Siswa berdiri (1922) atau dua puluh tujuh tahun sebelum Ki Hadjar Dewantara Lahir (2 Mei 1889) telah berdiri sekolah guru pertama di Tano Bato Tapanuli Selatan, pada 1862. Sekolah yang hebat ini didirikan dan dipimpin oleh seorang lulusan sekolah guru Amsterdam 1861 yang bernama asli Sati Nasution atau Willem Iskander.
Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional tidak selayaknya kita melupakan tokoh Sumatera Utara yang merupakan pelopor pendidikan Indonesia yang memungkinkan munculnya kesadaran nasional. Menurut Basyral Hamidi Harahap penerus Willem Iskander dapat disebut Rajiun Harahap gelar Sutan Kesayangan Soripada (baca Kesayangan), penggagas Indische Vereeniging tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Organisasi ini menjadi cikal bakal Perhimpoenan Indonesia yang menjadi perkumpulan intelektual muda Indonesia yang kelak tampil sebagai pemimpin bangsa Indonesia.
Menteri Pendidikan RI Dr. Daoed Joesoef mengagumi Willem Iskander dan tiga kali mengunjungi situs Sekolah Tanobato untuk mendirikan SMA Willem Iskander. Pramudya Ananta Toer menilai pada bukunya “Panggil Aku Kartini Saja” halaman 42 catatan kaki 24, menyejajarkan Willem Iskander dengan Raden Saleh sebagai tokoh hebat Indonesia akhir abad ke-19.
Untuk tidak menghilangkan memori penting tentang peran Sumatera Utara yang sangat monumental dalam sejarah bukankah selayaknya pemerintah menetapkan Situs Tanobato sebagai Cagar Budaya dan mendirikan Museum Willem Iskander di situ?
Pakar yang paling pas membicarakan ini adalah sahabat patik almarhum Basyral Hamidi Harahap, yang pernah 5 kali patik undang ke kampus patik di Unimed membicarakan banyak hal tentang sumber sejarah Tapanuli. Tiap kali dia datang ke Unimed, selalu dia bergumam tentang alamat kampus patik yang salah mencantumkan nama William Iskandar karena yang benar namanya Iskander. Patik bilang alamat itupun salah menggunakan nama tokoh pendidikan besar ini, karena jalan yang dimaksud adalah yang di jalan Pancing sana, bukan yang di depan kampus Unimed pas.
Pak Basyral selalu punya obsesi besar untuk bisa menulis karya besar tentang Willem Iskander, tapi buku dan beberapa tulisannya tentang Willem Iskander patik rasakan belum sehebat andainya semua kekayaan bahan yang dimilikinya dituangkan dalam bukunya. “Sedang saya siapkan,” katanya berulang. Dua tahun lalu pun patik kirim mahasiswa sejarah Unimed untuk menulis skripsi dan mewawancarai pak Basyral, selalu diucapkannya bahan bahannya sudah ada pada patik. Tiba tiba patik mendengar beliau wafat, dan patik pun teringat bahan tentang Willem yang ada dalam khazanahnya. Mudah-mudahan dapat ditulis tentang tokoh hebat pelopor dalam sejarah pendidikan guru yang terlupakan oleh bangsa sendiri, tokoh yang dikagumi kementrian pendidikan Belanda karena inovasinya dalam sistem pendidikan tanah air.( Mohot lubis )